tirto.id - Gubernur NTB, TGB Muhammad Zainul Majdi mengimbau seluruh jajaran di Sekretariat Daerah (Setda) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mematuhi surat Dewan Pers terkait imbauan agar tidak memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis.
Sebab, THR menjadi tanggung jawab perusahaan pers, sehingga jika didapat dari Setda sama saja dengan amplop yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik.
“Saya mengimbau, meminta kepada pemerintah provinsi pedomani yang dikeluarkan Dewan Pers, termasuk yang disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen [AJI]. Agar tradisi memberi amplop atau memberi THR dihentikan,” kata Tuan Guru Bajang (TGB), ditemui pengurus AJI Mataram, Sabtu (2/6/2018) di Pendopo Gubernur NTB.
Dewan Pers menerbitkan surat nomor 264/DP-K/V/2018 tentang imbauan agar jurnalis menjaga sikap moral dan etika demi kepercayaan publik dengan tidak meminta uang atau bingkisan hari raya.
Imbauan itu dipertegas dengan surat edaran AJI Mataram nomor 18–Eks./HIM.LBR/AJI Mataram/ VI/ 2018. Isinya, merujuk pada hasil riset Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2017 soal integritas wartawan di NTB yang masih rendah dengan skor 4,75.
Hal ini terkait sikap mayoritas jurnalis yang masih mentolerir pemberian amplop dari narasumber.
Masalah amplop dan THR jelang hari raya diakuinya sudah mentradisi di kalangan pemerintah daerah. Salah satu profesi yang sering dibicarakan karena disebut menerima, bahkan meminta adalah jurnalis.
TGB secara khusus juga mendesak perusahaan pers melaksanakan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Bahkan ia meminta Disnakertrans mengecek sejauh mana perusahaan media melaksanakan peraturan tersebut sesuai Permenaker Nomor 6 tahun 2016.
“Kalau perusahaan perusahaan pers memenuhi amanat amanat ketenagakerjaan dan membayarkan semua hak hak jurnalis, saya yakin itu menjadi semangat baru, menjadi benteng jurnalis dari godaan godaan (THR dan amplop)” kata dia seperti dalam siaran pers yang diterima Tirto.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua AJI Mataram Fitri Rachmawati menjelaskan, surat edaran AJI soal THR selalu diberikan jelang hari raya. Hal ini menanggapi fenomena oknum jurnalis yang “memburu” amplop dan THR yang menjadi keluhan para pejabat.
“AJI Mataram memandang pemberian THR oleh pejabat SKPD ini menyalahi ketentuan. Selain melanggar kode etik, karena sejatinya sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan pembayaran THR adalah kewajiban perusahaan pers kepada jurnalisnya,” jelas Fitri Rachmawati.
Sementara dasar larangan jurnalis, sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 Undang Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Pada pasal ini ditegaskan, wartawan Indonesia menaati kode etik jurnalistik.
Penjelasannya, wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesi dan menerima suap. “Suap dalam hal ini adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi,” kata Fitri.
Sebagai bagian dari tanggung jawab untuk meningkatkan mutu kemerdekaan pers di NTB, pihaknya mengajak bersama-sama mewujudkan pers yang sehat dan berintegritas dengan tidak memberikan peluang bagi pelanggaran kode etik.
"Kami berharap seruan Gubernur agar seluruh SKPD untuk menghentikan pemberian THR dan amplop benar-benar bisa dijalankan, begitu pula kepada perusahaan pers agar memenuhi kewajiban mereka membayarkan THR para pekerjanya termasuk para jurnalis," pungkasnya.
Editor: Dipna Videlia Putsanra